SELAMAT DATANG DI BLOG LPSM. SEMOGA BERMANFAAT

STRATEGI WIRAUSAHA DALAM MENANAMKAN SIKAP KREATIF DAN MANDIRI


ABSTRACT

Kebijakan perbandingan SMK:SMA dengan rasio 70:30 diharapkan dapat mengurangi pengangguran karena SMK mempersiapkan lulusan yang siap bekerja, bahkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Guru wirausaha di SMK memegang peranan yang sangat strategis dalam menanamkan sikap kewirausahaan bagi siswa, sehingga mindset siswa SMK berubah dari “lulus dan mencari pekerjaan” menjadi “ lulus SMK menciptakan lapangan pekerjaan” atau menjadi wirausaha. Sikap Kewirausahaan merupakan respon evaluatif terhadap aspek wirausaha, utamanya bisnis. Sikap wirausaha ditandai oleh: kemauan keras untuk mencapai tujuan dan kebutuhan hidup, memiliki keyakinan kuat atas kekuatan diri, jujur dan tanggung jawab, ketahanan fisik dan mental, ketekunan dan keuletan dalam bekerja dan berusaha, pemikiran kreatif dan konstruktif, berorientasi ke masa depan, dan berani mengambil resiko, serta dengan latihan nyata. Guru kewirausahaan dapat merubah sikap siswa melalui berbagai contoh positif wirausawan yang sukses saat ini dengan tetap terbuka dalam memberikan informasi kendala dan kegagalan yang juga bisa terjadi. Selanjutnya persepsi siswa tetap didorong pada sesuatu yang positif. Pembelajaran kewirausahaan di SMK yg umumnya masih didominasi pada model keseragaman, yang kurang memperhatikan latar belakang budaya siswa sebagaimana tuntutan KTSP, yakni adanya proses pembelajaran yang menghargai keberagaman dan pengalaman hidup sehari-hari anak, agar siswa menjadi semakin kreatif dan pandai berinteraksi. Peranan Guru kewirausahaan di SMK pada era otonomi daerah diharapkan mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada, untuk mengembangkan keseluruhan aspek pembelajaran kewirausahaan, diharapkan menghasilkan lulusan yang tidak hanya disiapkan untuk bekerja, tetapi menjadi wirausahawan. Mulai sekarang guru kewirausahaan harus berpedoman pada paradigma baru, mempertimbangkan berbagai faktor, baik yang berkenaan dengan latar belakang peserta didik, psikologis anak, agar dapat merapkan strategi pembelajaran kewirausahaan secara efektif, sehingga mampu meningkatkan academic achievement dan life skills siswa, yang mengarah pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik serta life skills dalam menerapkan konsep pelajaran kewirausahaan untuk menjadi pelaku usaha. Pendekatan pembelajaran kewirausahaan yang bisa dilakukan adalah: Contextual Teaching and Learning (CTL) Approach, Moral Dilemma Discussion (MDD) Approach, Cooperative Learning Approach (CLA), dan Problem Solving Approach


PENDAHULUAN
1. Kebijakan tersebut harus diikuti dengan langkah-langkah kongkrit berupa penciptaan lapangan kerja baru di berbagai sector agar penambahan jumlah SMK tidak menimbulkan masalah baru berupa penumpukan jumlah pengangguran dikarenakan terjadi kesenjangan yang semakin besar antara jumlah tenaga kerja dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia.

Dalam kondisi jumlah SMK seperti sekarang ini, terdapat sekitar 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah pengangguran (underemployed) di Indonesia (Sinuraya: 2008). Di kota Malang, jumlah pengangguran mencapai 40.107 orang, terdiri dari lulusan SMA/SMK, SMP dan SD sebanyak 25.440 orang serta sisanya lulusan S-1, S-2 dan Diploma sebanyak 17.240 orang.

Tempo interaktif com diakses 2 Mei 2008). Data tersebut menunjukkan bahwa angkatan kerja terbanyak adalah dari tingkat pendidikan dasar dan menengah. Angka tersebut menjadi semakin fantastis jika konversi SMA ke SMK tercapai. Karena terjadi kenaikan jumlah siswa hampir 25% atau dari jumlah siswa SMK pada saat ini 18.603 orang menjadi 24.184 orang (http://www.surya.co.id/web diakses 2 Mei 2008) ini berarti menyebabkan angkatan kerja bertambah jika mereka lulus nanti. Padahal untuk menyediakan lapangan kerja baru saat ini merupakan masalah yang sangat sulit. Tanpa bermaksud apriori, diduga penambahan SMK melalui konversi SMA ke SMK akan menambah pengangguran. Salah satu Penyebab permasalahan pengangguran adalah sistem pendidikan yang hanya menghasilkan tenaga teknikal skill, yang belum banyak memberikan manfaat bagi Negara (Danuhadimejo: 1998). Atau faktor ketidakmampuan dan ketidakberanian pencari kerja untuk berwiraswasta/ wirausaha (Mardikanto:1997). Mereka yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan formal, pada umumnya hanya ingin menjadi pegawai negeri atau karyawan, jarang yang mau dan mampu menciptakan dan mengembangkan pekerjaan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain atau wirausaha (Gimin: 2000).

Kenyataan seperti ini meng-indikasikan bahwa sekolah baru sekedar mampu mempersiapkan peserta didik untuk mengisi lapangan kerja dan belum mampu mempersiapkan mereka menjadi manusia-nanusia wirausaha. Guru wirausaha di SMK memegang peranan yang sangat strategis dalam menanamkan sikap kewirausahaan bagi siswa, sehingga mindset siswa SMK beubah dari “lulus dan mencari pekerjaan” menjadi “lulus SMK menciptakan lapangan pekerjaan” atau menjadi wirausaha. Lahirnya para wirausahawan berarti semakin banyak pula terciptanya lapangan kerja (Danuhadimedjo: 1998). Terciptanya lapangan kerja akan memiliki kontribusi positif bagi pengentasan pengangguran dan kemiskinan. Begitu juga keberhasilan pembangunan ekonomi suatu Negara sebenarnya sangat ditentukan oleh keberadaan wirausahawan yang memadai dan mampu berfikir inovatif dan kreatif, sebab menurut Schumpeter dalam Thomas dan Mueller (2000) bahwa meningkatnya aktivitas kewirausahaan masyarakat dapat memberi sumbangan terhadap pembangunan. Melihat kenyataan di atas kita segera dapat melihat peran besar dan strategis bagi SMK untuk mengubah Sikap Siswa dari “ Mencari Kerja “ menjadi “ Menciptakan lapangan kerja/Wirausaha”. Peran yang bisa dilakukan oleh Guru Wirausaha sangatlah strategis, karena mata pelajaran kewirausahaan dipandang paling erat kaitannya dengan hal tersebut.

PEMBAHASAN
Peranan Sikap Kewirausahaan dalam Membentuk Wirausahawan Handal
Istilah wirausaha disamakan dengan wiraswasta, berarti keberanian, keutamaan serta keperkasaan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri (Soemanto, 1999). Istilah Wirausaha berasal dari terjemahan entrepreneurship, yang berarti kemampuan dalam berfikir kreatif atau berprilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat dan proses dalam menghadapi tantangan hidup. Wiraswasta dan wirausaha dua istilah berbeda tetapi memiliki karakteristik yang sama (Alma, 2000).

Sebenarnya banyak macam ragam jenis wirausaha, tetapi yang memiliki peran mononjol bagi pembangunan ekonomi baik di Negara maju maupun berkembang adalah UKM (Usaha Kecil Menengah). Menurut Data BPS dan Kementrian Koperasi dan UKM, 99,8% lebih usaha yang ada di Indonesia adalah Usaha Kecil. Tenaga kerja yang terlibat di UKM pada tahun 2003 mencapai lebih dari 70 juta orang atau sekitar 88,4% dari total tenaga kerja yang terlibat di sektor usaha. Dengan demikian usaha kecil tetap menjadi tumpuan utama penyerapan tenaga kerja pada masa mendatang. Bahkan pada masa krisis ekonomi UKM merupakan tulang punggung penyediaan lapangan kerja, dinamisator dan stabilisator perekonomian Indonesia (Wibowo: 2007). Senada dengan pernyataan di atas, menurut Sri Edi Swasono yang dikutip oleh Kurniawati (2005). Nilai tambah yang diterima ekonomi rakyat dan UKM akan memiliki makna strategis karena memiliki dampak secara langsung terhadap proses pengentasan rakyat miskin dan pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja baru.
Sikap merupakan respon evaluatif yang dapat berbentuk positif maupun negatif terhadap suatu obyek atau peristiwa. Sikap merupakan titik awal penentu dari gerakan jalan fikiran dan kegiatan manusia dalam kehidupan. Sikap dapat pula diartikan sebagai gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau obyek. Atau dengan kata lain sikap adalah suatu yang dapat menentukan langkah dan perbuatan seseorang (Suit & Almasdi, 2000). Dengan demikian Sikap Kewirausahaan adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan fikiran (respon evaluatif) terhadap aspek wirausaha, utamanya bisnis. Baik respon positif ataupun respon negatif.

Purnomo (2005) mengungkapkan faktor-faktor pembentuk sikap wirausaha adalah: kemauan keras untuk mencapai tujuan dan kebutuhan hidup, memiliki keyakinan kuat atas kekuatan diri, jujur dan tanggung jawab, ketahanan fisik dan mental, ketekunan dan keuletan dalam bekerja dan berusaha, pemikiran kreatif dan konstruktif, berorientasi ke masa depan, dan berani mengambil resiko
Selain delapan sikap tersebut, sikap seorang wirausahawan perlu didukung oleh aspek kognisi, afeksi, dan konasi. Asfek kognisi merupakan asfek yang mengarah kepada kepercayaan (pengetahuan) seseorang akan kebenaran aktivitas wirausaha yang ditekuninya. Aspek afeksi lebih mengarah pada feeling atau perasaan seseorang terhadap kegiatan wirausaha, dan aspek konasi lebih cenderung pada aktivitas seseorang dalam melakukan wirausaha. Disamping itu menurut Purnomo (2005), sikap sangat dipengaruhi oleh motivasi, minat, etnis, gender, status sosial ekonomi, lingkungan tempat tinggal, dan pendidikan formal. Tetapi semua faktor yang mempengaruhi tersebut dapat berubah dengan latihan yang nyata. Dalam pendidikan formal, terutama SMK melalui bidang studi kewirausahaan tentunya bisa dilakukan. Guru kewirausahaan dapat merubah sikap siswa melalui berbagai contoh positif wirausawan yang sukses saat ini. Tetapi harus tetap terbuka dalam memberikan informasi kendala dan kegagalan yang juga bisa terjadi. Selanjutnya persepsi siswa tetap didorong pada sesuatu yang positif.

Kondisi Pembelajaran Kewirausahaan di SMK
Pembelajaran kewirausahaan di SMK umumnya dilakukan dengan metode ceramah, resitasi, dan membaca buku text. Menurut Galbraith (1967) untuk mempelajari suatu ilmu, seseorang harus cekatan dalam menyimak, memahami dan mengambil keputusan, agar nantinya lebih mampu bertahan hidup. Untuk itu, pendidik tidak boleh text-book oriented, sebab menurut biasanya bercorak generalisasi dan mendorong proses pembelajaran hanya sekedar menjejalkan ide-ide abstrak, sehingga siswa cenderung memorizing not understanding. (Sukarman, 1988).

Di samping model pembelajaran kewirausahaan masih text-book oriented, ternyata pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah yang divariasikan dengan metode diskusi belum menekankan pada proses berfikir siswa secara mandiri. Sebab pada umumnya diskusi dilakukan pada kelas besar yang masih didominasi guru, materi yang dibahas tidak sesuai dengan kontek dan isu-isu moral yang sedang berkembang dalam masyarakat, terutama yang berhubungan dengan kewirausahaan. Ada kecenderungan siswa hanyalah sebagai pendengar penjelasan guru atau hanya sekedar melengkapi Lembar Kerja Siswa (LKS). Kondisinya menjadi semakin serius, karena pendidik kurang mengembangkan materi pembelajaran nya sesuai dengan kebutuhan siswa. Padahal dengan memperhatikan interest siswa, seorang guru akan dapat mengajar secara efektif.

Pengelolaan proses pembelajaran di sekolah masih didominasi pada model keseragaman, yang kurang memperhatikan latar belakang budaya siswa. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang didasari oleh teori “kontruktivistik”, menuntut adanya proses pembelajaran yang menghargai keberagaman dan pengalaman hidup sehari-hari anak, sehingga memungkinkan dia untuk mampu mengkontruk konsep atau pengetahuannya sendiri, agar siswa akan menjadi semakin kreatif dan pandai berinteraksi dengan teman-teman lainnya.

Beberapa kenyataan di atas menjadikan pembelajaran kewirausaha-an di SMK menjadi kurang menarik. Sebagai akibatnya, muncul kebosanan dan kejenuhan dari siswa untuk mempelajarinya, karena mereka hanya diarahkan untuk sekedar menghafalkan saja. Hal tersebut terjadi karena selama ini materi yang dipelajarinya tidak menyentuh kebutuhan mereka. Atau dengan kata lain materi yang dipelajari tidak relevan dengan pengalaman mereka sehari-hari, akhirnya materi trsebut dianggap kurang menantang.

Peranan Guru kewirausahaan di SMK pada era reformasi dan otonomi daerah menjadi semakin penting. Mereka diharapkan mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada, untuk mengembangkan keseluruhan aspek pembelajaran. Dari pelajaran kewirausahaan diharapkan menghasilkan lulusan yang tidak hanya disiapkan untuk bekerja, tetapi menjadi wirausahawan. Untuk itu sudah selayaknya, mulai sekarang para pengajar kewirausahaan harus berpedoman pada paradigma baru, harus mempertimbangkan berbagai faktor, baik yang berkenaan dengan latar belakang peserta didik, psikologis anak, jenis belajar dan lain-lain.

Life Skills dalam Pembelajaran Kewirausahaan di SMK
Meningkatnya keberhasilan pendidikan kewirausahaan di SMK ditandai dengan meningkatnya sikap kewirausahaan siswanya. Oleh sebab itu diperlukan model pembelajaran yang lebih riil, yaitu memberikan mereka life skills. Life skills dalam pendidikan kewirausahaan adalah interaksi berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimiliki oleh siswa sehingga mereka dapat hidup mandiri sebagai wirausahawan. Maka empat prinsip penting dalam menjalankan pembelajaran kewirausahaan sebagai life skills tidak boleh ditinggalkan, yaitu Learning to know (belajar untuk mengetahui kewirausahaan), learning to do (belajar untuk melakukan kegiatan wirausaha), learning to be (belajar untuk mempraktekkan kegiatan wirausaha), and learning to live together (belajar untuk bersama dengan yang lain dalam interaksi sosial dalam berwirausaha). Model pembelajaran kewirausahaan akan berhasil dengan baik bila seorang guru mampu mengorganisasikan pengalaman belajar siswa dengan menggunakan prosedur yang sistematis. Pengalaman belajar yang dimaksud merupakan pengetahuan atau informasi kewirausahaan yang biasa mereka alami atau mereka kenal sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, dalam membuat model pembelajaran harus mempertimbangkan latar belakang budaya siswa dan pengalaman kewirausahaan siswa. Belajar kewirausahaan bukan hanya sekedar mengajari bagaimana siswa dapat membuat kemudian menjual, melainkan memberikan pengalaman dan kecakapan langsung bagaimana merancang dan mengelola sebuah usaha secara utuh.

Assessment dalam Pembelajaran Kewirausahaan di SMK
Permasalahan dalam pembelajaran kewirausahaan tidak hanya karena sistem penyampaian yang digunakan oleh pendidik, tetapi juga mencakup aspek assessmennya. Selama ini pendidik kewirausahaan masih salah dalam menerapkan strategi pembelajarannya yang semata-mata hanya menekankan pada aspek kognitif saja. Padahal seharusnya proses pembelajaran kewirausahaan lebih menekankan pada aspek afektif dan psikomatorik, dan lifeskills di samping aspek kognitif sebagai konsep. Sehingga sistem evaluasinya juga hanya menekankan pada aspek kognitif. Padahal pada hakikatnya mata pelajaran kewirausahaan adalah pendidikan nilai yang bersumber dan berlandaskan pancasila dan UUD 1945. dengan demikian penekannannya lebih dititikberatkan pada aspek nilai sikap (afektif) dan pengalaman (psikomotorik) di samping secara intregatif perlu diperhatikan aspek pengetahuan. Dampak negatif dari pelaksanaan proses pembelajaran kewirausahaan tersebut berakibat pada tidak konsistennya antara nilai yang didapat para siswa dengan sikap dan perilaku mereka pada kehidupan sehari-hari. Sebagai gambaran perilaku dan sikap negatif tersebut, yaitu banyak siswa di kota-kota besar seperti Jakarta dan kota besar lainnya, walaupun nilai kewirausahaan tergolong cukup baik, namun seringkali mereka cenderung, yang tidak menandakan bahwa mereka telah memiliki sikap kewirausahaan. Mereka belum bisa menerapkan konsep mata pelajaran kewirausahaan dalam kontek riel sebagai wirausaha. Hal tersebut menandakan bahwa target pembelajaran yang selama ini kita harapkan belum bisa dikatakan berhasil.

Di samping strategi pembelajaran yang sesuai, kedudukan assessmen menjadi semakin penting karena merupakan bagian integral dari proses pembelajaran, khususnya kewirausahaan. Bahkan assessmen merupakan kunci keberhasilan dalam memperbaiki efektifitas proses pembelajaran (Daugherty, 1989). Assessmen mempunyai banyak manfaat, baik untuk kepentingan siswa, guru, orang tua, dan fihak lain yang membutuhkannya, seperti feedback pengalaman belajar.

Strategi dan Pendekatan Pembelajaran Kewirausahaan di SMK
Menurut Purnomo (2005), sebelum menentukan strategi pembelajaran kewirausahaan guru harus mempertimbangkan faktor-faktor penting diantaranya: kebutuhan dasar anak, latar belakang anak, perkembangan kognitif anak, jenis dan kecakapan belajar, media dan sumber belajar, karakteristik materi pelajaran, karakteristik kurikulum, dan pengalaman guru. Tetapi kajian ini lebih memfokuskan pada factor pelaksanaan di lapangan, yakni guru kewirausahaan di SMK. Yaitu bagaimana upaya guru agar dapat merapkan strategi pembelajaran kewirausahaan secara efektif, sehingga mampu meningkatkan academic achievement dan life skills (kecakapan hidup) siswa. Yaitu academic achievement yang mengarah pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik serta life skills dalam menerapkan konsep pelajaran kewirausahaan untuk menjadi pelaku usaha (wirausaha). Menurut Purnomo (2005) ada empat pendekatan pembelajaran kewirausahaan yang bisa dilakukan. Empat pendekatan pembelajaran tersebut adalah :
1. Contextual Teaching and Learning (CTL) Approach
CTL merupakan konsep belajar dengan mengkaitkan materi kewirausahaan yang sedang diajarkan dengan kenyataan dan pengalaman hidup sehari-hari. Sehingga siswa dapat menerapkan pengetahuan kewirausahaan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Ada empat hal mendasar yang dijadikan landasan kegiatan belajar menurut konsep pendekatan CTL yaitu proses belajar, transfer belajar, peserta didik sebagai pembelajar, dan pentingnya lingkungan belajar. Siswa belajar bukan sekedar menghafal materi atau sekedar diberi konsep oleh guru. Tetapi siswa mengalami sendiri secara langsung dan tidak langsung karena diberi kesempatan untuk mengkontruksi pengetahuannnya sendiri. Sehingga pengetahuan mereka tentang kewirausahaan bukan hanya sekedar teori-teori yang dihafal, tetapi lebih merupakan pengetahuan yang bisa diterapkan.
Penerapan pembelajaran kewirausaha-an dengan pendekatan CTL memiliki tujuh komponen, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (ingquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), membuat model (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang bersifat alamiah (authentic asseement) (Nurhadi & Senduk, 2003)

Adapun langkah-langkah pen-dekatan pembelajaran kewirausahaan melalui contextual teaching and learning (CTL) dalam penerapannya secara garis besar adalah:
• Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar secara lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.
• Melaksanakan kegiatan inkuiri yang berkaitan langsung dengan topik-topik kewirausahaan, meliputi perumusan masalah (misalnya bagaimanakah cara mengembangkan kiat dalam berwirausaha itu?), mengamati atau melakukan observasi (baca literatur, mengamati dan mengumpulkan data tentang aspek atau faktor-faktor yang diperlukan dalam membuka usaha baru), menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar laporan, bagan, dan lain-lain (seperti melakukan analisis SWOT untuk membuat profil usaha), dan mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, orang tua/masyarakat.
• Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. Atau menggunakan key question (seperti: apakah aktivitas bisnis itu?, bagaimana cara membuka usaha baru?, bagaimana mengembangkan usaha baru?, bagaimana cara mendapatkan modal usaha itu? Apa saja kendala-kendala bisnis yang dihadapi para wirausahawan? Dan lain-lain.
• Ciptakan masyarakat belajar (groupwork) dari berbagai macam siswa yang sifatnya heterogen baik dari latar belakang keluarga, kondisi ekonomi, lingkungan, daerah yang berbeda dan lain-lain. Dengan kelompok belajar yang beragam tersebut mereka akan saling belajar satu dengan yang lain.
• Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran. Pemilihan model tersebut harus selektif, semakin bagus model wirausaha semakin bagus hasilnya (misalnya menghadirkan Cak Man Owner Bakso Kota dari Malang untuk menjelaskan kiat-kiat sukses berusaha dan berdagang bakso). Pemilihan model juga harus disesuaikan dengan materi dan jurusan yang sedang di tempuh siswa.
• Lakukan refleksi akhir pertemuan (flashback), yakni siswa mengendapkan apa yang telah dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pengetahuan siswa diperluas melalui kontek pembelajaran, guru berperan sebagai penghubung pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya dengan pengetahuan baru. Hal terpenting dalam tahap refleksi adalah: pertanyaan langsung tentang apa saja yang diperoleh siswa pada hari itu, catatan atau jurnal pada buku, kesan dan saran mengenai pembelajaran saat itu, diskusi, hasil karya, maupun laporan kegiatan siswa.
• Langkah terakhir adalah melakukan assesessment (evaluasi) yang sebenarnya (authentic assessment) dengan berbagai cara, seperti melakukan observasi, wawancara, membuat catatan bebas, portofolio, self evaluation, dan lainnya.

2. Moral Dilemma Discussion (MDD) Approach
Nilai moral yang harus dikembangkan dalam pelajaran kewirausahaan di SMK, misalnya memberikan pertimbangan tentang keseimbangan, kejujuran, respek pada kebenaran, taat pada hukum, pentingnya tanggungjawab dan lainnya. Model pembelajaran MDD pada pelajaran kewirausahaan dilakukan dengan menghubungkan nilai moral tertentu dengan isu-isu, nilai-nilai dan analisis dari suatu konsekwensi.. Menurut Bambang Hari Purnomo (2005) ada empat tahapan dalam pelaksanaan MDD dalam pelajaran kewirausaahaan di SMK, yaitu:
• Introduce The Moral dilemma.
Dilemma yang dipilih harus disesuaikan dengan kebutuhan anak dan mempunyai arti penting baginya. Pilihlah isu dari dilemma yang pendek dan berkaitan erat dengan situasi dan kondisi yang ada. Materi disajikan dalam bentuk diskusi, drama, prosa, film, kaset atau media lain yang dianggap sesuai. Misalnya: membahas tentang etika dalam bisnis/wirausaha dengan menyajikan contoh kongkrit dalam bentuk cerita/berita singkat yang disajikan oleh guru wirausaha. Cerita/berita tersebut bisa diambil dari media cetak seperti Koran, majalah dan lainnya.
• Asking Pupils to Suggest Tentative Response
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan pertama, siswa diminta menulis tentang apa yang mereka lakukan dan dilengkapi dengan suatu penjelasan dalam menentukan suatu keputusan.
• Deciding Pupils into Groups to Discuss Their Reasoning
Tahap ini guru membentuk kelompok diskusi tentang hal-hal yang mereka tulis dalam tahap kedua. Guru berperan meninjau setiap kelompok diskusi, sehingga diketahui peran setiap siswa dalam kelompoknya dan membangun suasana agar diskusi menjadi semakin hidup.
• Discussing the Reasoning and Formulating Conclusion
Selama phase penyimpulan dalam diskusi tersebut, guru melengkapi dengan papan tulis, atau media sejenis lainnya yang akan dipakai siswa untuk memaparkan alas an atau hasil diskusi kelompoknya. Sehingga dapat dilihat dan didengar oleh siswa lainnya. Pada tahap ini guru tidak harus mengumpulkan seluruh hasil kesimpulan siswa tetapi memilih dengan hati-hati hasil kelompok siswa yang paling akurat dan mendekati konsep materi yang akan diberikan. Kemudian guru menyempurnakan konsep materi yang dirasa kurang.

3. Cooperative Learning Approach (CLA)
Merupakan metode pembelajaran yang ditandai dengan adanya kerjasama antar siswa untuk saling membantu dalam kelompok-kelompok kecil (beranggotakan 3-4 siswa). Cara lain yaitu ditandai dengan kerjasama kelompok yang tinggal bersama untuk kurun waktu beberapa minggu atau bulan. Mereka biasanya diajarkan ketrampilan-ketrampilan kusus untuk saling membantu agar dapat bekerjasama dengan baik, seperti keaktifan dalam mendengarkan cermah tentang membuka usaha baru, ceramah strategi pemasaran dan lain-lain. Beberapa model pembelajaran CLA seperti STAD, CIRC, JIGSAW, Learning Together, Group Investigation. Sebagai contoh model Student Team Achievement Division (STAD), yaitu dengan langkah-langkah :
• Para siswa dibagi dalam empat kelompok belajar yang bersifat heterogen, baik level kemampuan, jenis kelamin, dan etnik.
• Guru memberikan tugas yang disesuaikan dengan karakteristik materi kewirausahaan yang akan dibahas.
• Para siswa bekerja sama dengan teamnya agar mereka benar-benar yakin telah menguasai materi pelajaran, sebab saatnya nanti mereka harus mampu bekerja sendiri.
• Hasil kerja tiap-tiap kelompok diskor untuk dibandingkan dengan hasil skor rata-rata yang pernah dihasilkan sebelumnya, dan adanya poin penghargaan pada siswa yang telah melakukan unjuk kerja.
• Poin-poin yang diperoleh tersebut kemudian dijadikan dasar untuk membentuk team baru dan diberi sertifikat khusus.

4. Problem Solving Approach
Merupakan sarana individu untuk memuaskan kebutuhannya dalam menghadapi suatu situasi yang dianggap baru dengan menggunakan pengetahuan, skills dan understanding yang telah dimiliki sebelumnya, atau dapat dikatakan sebagai suatu upaya individu untuk mengidentifikasi potensi-potensi tertentu dan alternative pemecahan suatu persoalan, baik konkrit maupun abstrak. Oleh sebab itu problem solving lebih bersifat sebagai suatu proses. Secara garis besar problem solving dapat digambarkan dengan langkah-langkah berikut :
• Identifikasi fakta-fakta, Indentifikasi permasalahan, Memvisualisasi situasi, Menggambarkan setting, dan Menyatakan kembali tindakan (Read and Think)
• Mengorganisasi informasi, Apakah informasi sudah cukup, Apakah informasinya terlalu banyak, Membuat diagram atau mengkontruk suatu model, Membuat chart, tabel, diagram atau gambar (Explore and plan)
• Pengenalan bentuk, Melihat pekerjaan sebelumnya, Mengira-ira dan melakukan tes, Simulasi atau eksperimentasi, Membuat daftar pelengkap, Logical deduction, Membagi dan mengatasi (Select a Strategy).
• Mengestimasi, Menggunakan kemampuan untuk menghitung, Menggunakan kemampuan/ketrampilan lainnya (Find an Answer)
• Melakukan cek atas jawaban (apakah perhitungan sudah benar, apakah pertanyaan telah terjawab, apakah jawabannya sudah masuk akal, bagaimana jawaban dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya), Mendapatkan calon pengganti pemecahan, Mengembangkan generalisasi atau konsep lainnya, Mendiskusikan pemecahan, dan Menciptakan variasi yang menarik atas original problem. (Reflect and extend)

Sebagai contoh misalnya dalam materi merancang usaha busana, siswa diberikan problem tentang bagaimana merancang sebuah usaha busana (modiste, konfeklsi, atau butik) dengan disiapkan data-data konkrit tentang keadaan dan kemampuan yang tersedia. Baik tersedianya modal, lokasi usaha, kondisi masyarakat sekitar, prospek/peluang usaha dan lain-lain. Berdasarkan data-data yang tersedia, siswa diminta untuk merancang usaha busana dengan menerapkan berbagai konsep yang telah diajarkan meliputi berbagai aspek manajemen mulai dari keuangan, pemasaran, teknis dan produksi, serta SDM, sehingga menjadi sebuah rancangan usaha yang memiliki kelayakan untuk diterapkan.
.

KESIMPULAN

Bukan bermaksud untuk memberikan penilaian terhadap proses pembelajaran kewirausahaan dan metode pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru SMK pada saat ini. Setidaknya kita bisa melihat kenyataan yang terjadi, yaitu kesenjangan antara tersedianya lapangan pekerjaan baru dengan angkatan kerja yang semakin tidak seimbang. Sehingga diduga semakin banyaknya lulusan SMK di masa datang, akan menyebabkan penumpukan pengangguran dan kemiskinan. Maka guru kewirausahaan di SMK dapat memberikan peran strategis, yaitu merubah sikap lulusan siswa SMK dari sekedar mencari kerja menjadi menciptakan kerja/berwirausaha. Peran yang dapat dilakukan dengan merubah metode pembelajaran kewirausahaan di SMK. Jika peran ini bisa dijalankan dengan baik, maka tujuan kurikulum akan bisa dicapai. Tujuan kurikulum yang sejatinya bukan sekedar mencetak tenaga technical skill tetapi lebih pada life skills. Multiplier effect yang diharapkan selanjutnya dengan perubahan sikap siswa SMK tersebut akan muncul wirausahawan-wirausahawan baru yang sangat bermanfaat bagi Negara dalam mengentaskan pengangguran dan kemiskinan. Karena peran wirausawan (UKM) terbukti mampu menyerap tenaga kerja yang begitu besar dan sangat membantu dimasa krisis ekonomi Indonesia. Semoga tulisan ini bermanfaat.


DAFTAR RUJUKAN
Alma, Buchori. 2000. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta

Danuhadimedjo, D.R. 1998. Kewiraswastaan dan Pembangunan. Bandung: Alfabeta

Galbraith, John K. 1967. The New Industrial State A signed Book. New York : Library Inc.

Gimin. 2000. “Sikap Mahasiswa Pendidikan Ekonomi IKIP UNRI terhadap Kewiraswasraan”.
Jurnal IPS dan Pengajarannya. Tahun 34 (1) : 133 – 145

http://www.surya.co.id/web SMK Berorientasi pada Dunia Kerja. Powered by joomla,
diakses 2 Mei 2008.

http://www.Tempointeraktif_com Pengangguran di Kota Malang Terus Meningkat.
–htm. diakses 2 Mei 2008

http://www.surya.co.id/web Atasi Pengangguran, Kemiskinan dan Dibantu BOM.
Powered by joomla. Diakses 19 Mei 2008

http://www.Suarapembaharuan.co.id/web: Daulat. 2008. Solusi Masalah Pengangguran
di Indonesia.htm., diakses 20 Mei 2008

Kurniawati, P., Surus, A.M., Fauzi, I.N. 2005. Success Story: Rahasia Sukses Pelaku UKM.
Jakarta. Pustaka Redi

Mardikanto, Totok. 1997. Link and Match Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta. Balai Pustaka

Nurhadi, Senduk, G.A. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan penerapannya dalam KBK.
Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang.

Purnomo, Bambang Hari. 2005. Membangun semangat Kewirausahaan. Yogyakarta.
LaksBang PRESSindo

Saxe, W. D. 1994. Social Studies for The Elementary Teaching. Massachussett :
Allyn and Bacon.

Soemanto, W. 1999. Sekuncup Ide Operasional Pendidikan Wiraswasta. Jakarta. Bumi Aksara.

Suit, Y. dan Almasdi. 2000. Aspek Sikap Mental dalam Sumber Daya Manusia. Jakarta.
Ghalia Indonesia.

Sukarman. 1988. “ Sumbangan Media Massa Khususnya Surat Kabar terhadap Pelajaran
Ekonomi pada SMA di Propinsi DIY”. Desertasi. Malang: Perpustakaan UM.

Thomas, S. A and Mueller, L.S. 2000. “Entrepreneurs: International; Personality: Cross
Cultural Studies; Comparative Analysis Studies.” Journal of International Business Studies (JIB). Second Quarter (31) : 287 – 301

Wibowo, Singgih. 2007 . Petunjuk Mendirikan Perusahaan Kecil. Jakarta. Penebar Swadaya


0 Responses So Far: